Sanksi Kurang Efektif: Mengapa Ancaman Drop Out Gagal Mencegah Perkelahian Antar Sekolah
Ancaman drop out atau pengeluaran sekolah seringkali menjadi Sanksi Kurang efektif dalam mencegah perkelahian antar sekolah. Pendekatan hukuman yang keras ini gagal menyentuh akar permasalahan yang mendorong perilaku kekerasan di kalangan remaja. Alih-alih meredam konflik, sanksi berat seringkali hanya menunda masalah dan bahkan dapat memperburuk keadaan psikososial siswa yang terlibat.
Salah satu alasan utama mengapa Sanksi Kurang berhasil adalah karena perkelahian seringkali dipicu oleh faktor emosional dan sosial, seperti pencarian identitas, tekanan kelompok, atau masalah di rumah. Hukuman keras tidak mengatasi trauma atau kurangnya keterampilan mengelola emosi. Yang dibutuhkan adalah intervensi psikologis, bukan sekadar penegakan disiplin.
Faktor pemicu lain adalah kuatnya rasa solidaritas dan identitas kelompok. Ancaman drop out mungkin hanya memperkuat citra “martir” di mata rekan-rekan mereka. Sanksi Kurang yang hanya bersifat menghukum gagal menawarkan jalur keluar yang terhormat dari konflik, sehingga siklus kekerasan terus berlanjut di luar lingkungan sekolah.
Dalam konteks manajemen konflik, Sanksi Kurang efektif jika tidak diimbangi dengan upaya rehabilitasi dan edukasi. Sekolah harus berinvestasi pada program anti-bullying, pelatihan resolusi konflik, dan kegiatan ekstrakurikuler yang positif. Ini memberikan ruang bagi siswa untuk menyalurkan energi dan membangun rasa memiliki tanpa harus melalui kekerasan.
Pendekatan restorative justice menawarkan alternatif yang lebih efektif daripada Sanksi Kurang yang hanya menghukum. Metode ini berfokus pada perbaikan hubungan dan pertanggungjawaban. Siswa didorong untuk memahami dampak tindakan mereka terhadap korban dan komunitas, serta mencari cara untuk menebus kesalahan mereka secara konstruktif.
Selain itu, Sanksi Kurang dapat memiliki dampak negatif jangka panjang. Siswa yang dikeluarkan seringkali menghadapi kesulitan mengakses pendidikan formal lainnya, yang meningkatkan risiko mereka terlibat dalam kenakalan remaja atau kriminalitas. Sekolah seharusnya menjadi tempat koreksi, bukan gerbang menuju pengucilan sosial.
